Sabtu, 22 Oktober 2011

Asal Mula Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan – Red), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dari pengertian-pengertian dan analisis yang ada maka bisa disimpulkan bahwa pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungannya.

Dalam pendidikan terdapat dua hal penting yaitu aspek kognitif (berpikir) dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil bagian tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan perasaan seperti semangat, suka dan lain-lain. Substansi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah membebaskan manusia dan menurut Drikarya adalah memanusiakan manusia. Ini menunjukan bahwa para pakar pun menilai bahwa pendidikan tidak hanya sekedar memperhatikan aspek kognitif saja tapi cakupannya harus lebih luas.

Bagaimana dengan pendidikan di Indonesia?

Apakah pendidikan di Indonesia memperhatikan permasalahan detail seperti ini? Inilah salah satu kesalahan terbesar metode pendidikan yang dikembangkan di Indonesia. Pendidikan kita sangat tidak memperhatikan aspek afektif (merasa), sehingga kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Sudah 45 tahun Indonesia merdeka, dan setiap tahunnya keluar ribuan hingga jutaan kaum intelektual. Tapi tak kuasa mengubah nasib bangsa ini. Maka pasti ada yang salah dengan sistem pendidikan yang kita kembangkan hingga saat ini.

Kesalahan kedua, sistem pendidikan yang top-down atau dari atas kebawah. Freiremenyebutnya dengan banking-system. Dalam artian peserta didik dianggap sebagai safe-deposit-box dimana guru mentransfer bahan ajar kepada peserta didik. Dan sewaktu-waktu jika itu diperlukan maka akan diambil dan dipergunakan. Jadi peserta didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba untuk berpikir lebih jauh tentang apa yang diterimanya, atau minimal terjadi proses seleksi kritis tentang bahan ajar yang ia terima. Dalam istilah bahasa arab pendidikan seperti ini dikatakan sebagai taqlid. Artinya menerima atau mengikuti apa saja yang dikatakan oleh para pendidik. Dan ini tidak sejalan dengan substansi pendidikan yang membebaskan manusia (Ki Hajar Dewantara).

Kesalahan ketiga, Saat ini terjadi penyempitan makna dari pendidikan itu sendiri ketika istilah-istilah industri mulai meracuni istilah istilah pendidikan. Di tandai dengan bergantinya manusia menjadi Sumber Daya Manusia (SDM).

Pranata Pendidikan

Pranata Pendidikan, terletak pada upaya sosialisasi, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dan ciri-ciri pribadi sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat bersangkutan.

Pendidikan adalah suatu proses yang terjadi karena interaksi berbagai faktor, yang menghasilkan penyadaran diri dan lingkungan sehingga menampilkan rasa percaya diri dan rasa percaya akan lingkungannya.

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sistem pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.

Berdasarkan pada Undang-undang tersebut, sistem pendidikan nasional dibedakan menjadi satuan pendidikan, jalur pendidikan, jenis pendidikan, dan jenjang pendidikan.

Berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1988 seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan itu berdasarkan atas Pancasila dasar dan falsafah negara.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu : semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara; menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.

Pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-undang ini mengungkapkan satu sistem yang :

  1. berakar pada kebudayaan nasional dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta melanjutkan dan meningkatkan pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa);
  2. merupakan satu keseluruhan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional;
  3. mencakup, baik jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah;
  4. mengatur, bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas 3 (tiga) jenjang utama, yang masing-masing terbagi pula dalam jenjang atau tingkatan;
  5. mengatur, bahwa kurikulum, peserta didik dan tenaga kependidikan, terutama guru, dosen atau tenaga pengajar, merupakan tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan belajar-mengajar;
  6. mengatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi);
  7. menyelenggarakan satuan dan kegiatan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Pemerintah;
  8. mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat berkedudukan serta diperlakukan dengan penggunaan ukuran yang sama;
  9. mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakannya sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan ideologi bangsa dan negara; dan
  10. memudahkan peserta didik memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat dan tujuan yang hendak dicapai serta memudahkannya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.

A. Ruang Lingkup Pendidikan:

a. Pendidikan dlm keluarga (informal)

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

b. Pendidikan di sekolah (formal)

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

c.Pendidikan dlm masyarakat (nonformal)

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Selanjutnya dalam Undang-undang Sisdiknas tersebut dijelaskan bahwa, pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

B. Fungsi Pranata Pendidikan :

1. Fungsi konservasi (pengawetan)

2. Fungsi evaluatif (penilaian)

3. Fungsi kreatif

1.Mrt BRUCE J COHEN

Fungsi pranata pendidikan antara lain :

· Memberikan persiapan bagi peran-peran pekerjaan

· Sebagai perantara perpindahan warisan kebudayaan

· Memperkenalkan peranan dalam masyarakat

· Mempersiapkan individu dengan berbagai peranan sosial

· Memberi landasan penilaian dan pemahaman

· Meningkatkan kemajuan melalui riset-riset ilmiah

· Memperkuat penyesuaian dari dan mengembangkan hubungan sosial

2.Mrt BOGARDUS,

Fungsi pranata pendidikan antara lain :

·Memberantas kebodohan yaitu mengusahakan agar anak mampu menulis dan membaca serta mengembangkan kemampuan intelektualnya

·Menghilangkan salah pengertian yaitu mengembangkan pengertian yang luas tentang manusia lain yang berbeda kebudayaan dan kepentingannya

3.Mrt DAVID POPONOE,

Fungsi pendidikan antara lain :

·Sebagai transmisi kebudayaan masyarakat yaitu selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat

·Menjamin adanya integrasi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk

·Sumber inovasi sosial

4.Mrt HORTON dan HUNT

Fungsi nyata (manifest) pendidikan antara lain :

* Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah

* Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan kepentingan masyarakat melestarikan kebudayaan menanamkan ketrampilan yang perlu bagi partisipasi demokrasi.

Fungsi tersembunyi / laten pendidikan antara lain :

·Mengurangi pengawasan orang tua kepada anak

·Menyediakan sarana pembangkangan terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat mempertahankan sistem kelas sosial

·Memperpanjang masa remaja

C. Fungsi Tersembunyi Pranata Pendidikan :

1. Menunda masa kedewasaan anak

2. Menjadi saluran bagi mobilitas sosial

3. Memelihara integrasi masyarakat

D. Fungsi Nyata Pendidikan :

1. Menolong orang untuk sanggup mencari nafkah bagi kehidupannya kelak

2.Meningkatkan citra rasa kehidupan

3.Meningkatkan taraf kesehatan dengan olahraga

E. Manfaat Pendidikan :

1. Wawasan dan pandangan seseorang dalam berinteraksi menjadi lebih baik

2. Seseorang dapat mengikuti perkembangan zaman

3.Seseorang menjadi lebih kritis dan analitis dalam berpikir

F. Jenis-jenis pendidikan :

1. Pendidikan Massal

2. Pendidikan Masyarakat.

3. Pendidikan Dasar.

Merupakan pendidikan sembilan tahun terdiri atas program pendidikan enam tahun di sekolah dasar dan program pendidikan tiga tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama terdiri dari dua jenis sekolah yang berbeda yaitu sekolah umum dan sekolah keterampilan. Pendidikan Dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.

Pendidikan Dasar merupakan pendidikan wajib belajar yang memberikan para siswa dengan pengetahuan dan keterampilan. Sebagai tambahan pada pendidikan dasar, terdapat Madrasah Ibtidaiyah, yang setingkat dengan Sekolah Dasar dan Madrasah Tsanawiyah yang setingkat dengan sekolah Lanjutan Tingkat Pertama umum yang berada di bawah pengelolaan Departemen Agama.

4. Penyuluhan.

5. Pengembangan Masyarakat.

6. Pendidikan Orang Dewasa.

7. Masyarakat Belajar

8. Pendidikan Seumur Hidup.

G. Jenis Pendidikan Lainnya :

Menurut Sistem pendidikan nasional terdiri dari tujuh jenis pendidikan yaitu :

1.Pendidikan umum,

Pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir masa pendidikan.

2.Pendidikan kejuruan,

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu.

3.Pendidikan luar biasa,

Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.

4.Pendidikan kedinasan,

Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Departemen atau Lembaga Pemerintah Nondepartemen.

5.Pendidikan keagamaan,

Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.

6.Pendidikan akademik,

Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.

7.Pendidikan profesional.

Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.

H. Jalur Pendidikan

1. Jalur pendidikan sekolah

Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan.

Yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas: Pendidikan Dasar; Pendidikan Menengah; dan Pendidikan Tinggi.

Selain jenjang pendidikan di atas, diselenggarakan pendidikan prasekolah. Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar dilingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. Pendidikan prasekolah antara lain meliputi pendidikan Taman Kanak-kanak, terdapat di jalur sekolah, dan Kelompok Bermain, serta Penitipan Anak di jalur luar sekolah. Taman Kanak-kanak diperuntukan anak usia 5 dan 6 tahun untuk satu atau dua tahun pendidikan, sementara kelompok bermain atau penitipan anak diperuntukan anak paling sedikit berusia tiga tahun.

2. Jalur pendidikan luar sekolah.

Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.

Yang termasuk jalur pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik di lembaga pemerintah, nonpemerintah, maupun sektor swasta dan masyarakat.

Jenis pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan, dan pendidikan kejuruan. Pendidikan luar sekolah dapat meliputi kursus-kursus, kelompok belajar seperti Paket A, Paket B, dan Kejar Usaha dan kegiatan lainnya seperti magang.

H. Jalur Pendidikan Sekolah

1. Pendidikan Dasar

2. Pendidikan Menengah

Disiapkan untuk lulusan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan dan pendidikan keagamaan. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Lama pendidikan tiga tahun untuk sekolah umum dan tiga atau empat tahun untuk sekolah kejuruan.

Sebagai tambahan pada sekolah menengah, terdapat Madrasah Aliyah yang setingkat dengan sekolah menengah umum yang berada dalam pengelolaan Departemen Agama.

3. Pendidikan tinggi

Merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah yang terdiri dari pendidikan akademik dan profesional. Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. Lama pendidikan tinggi tiga tahun untuk program diploma atau empat tahun untuk program sarjana. Sesudah tingkat sarjana dapat meneruskan ke program Pascasarjana selama dua tahun dan dapat meneruskan ke program Doktor tiga tahun kemudian.

Sesuai dengan dasar, fungsi, dan tujuannya, pendidikan nasional bersifat terbuka. Sifat itu diungkapkan dengan keleluasaan gerak peserta didik. Ini merupakan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan bakatnya sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Keleluasaan gerak berarti terbukanya kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangkan dirinya melalui jalur pendidikan yang tersedia dan kemungkinan untuk pindah dari satu jalur ke jalur yang lain, atau dari satu jenis ke jenis pendidikan yang lain dalam-jenjang yang sama. Dalam pelaksanaan keleluasaan gerak perlu diperhatikan aspek-aspek proses belajar dan kemampuan sumber daya yang tersedia. Peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut pelajar, murid atau siswa dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut mahasiswa. Peserta didik dalam jalur pendidikan luar sekolah disebut warga belajar.

Di dalam lembaga pendidikan formal atau persekolah, kelahiran dan pertumbuhan dari dan untuk masyarakat bersangkutan. Artinya, sekolah sebagai pusat pendidikan formal merupakan perangkat masyarakat yang disertai kewajiban memberikan pendidikan. Perangkat ini dikelola secara formal mengikuti haluan yang pasti dan diperlakukan dimasyarakat bersangkutan.

Fungsi pemberian pendidikan tidak diserahkan sepenuhnya kepada lembaga persekolah. Sekolah pengalaman belajar pada dasarnya dapat diperoleh disepanjang hidup manusia, kapanpun dan dimanapun, termasuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat itu sendiri.

Lembaga sosial formal dapat juga disebut sebagai satu organisasi yang terikat kepada tata aturan formal berprogram, dan bertarget atau bersasaran yang jelas, serta memiliki struktur kepemimpinan penyelenggara atau pengelolaan yang resmi.

Penjabaran dari fungsi sekolah sebagai pusat pendidikan formal, terlihat pada tujuan institusional yaitu tujuan kelembagaan pada masing-masing jenis dan tingkatan sekolah. Tujuan institusional untuk masing-masing tingkat atau jenis pendidikan, untuk pencapaiaannya ditopang oleh tujuan-tujuan kurikuler dan tujuan-tujuan instruksional.

Untuk tujuan institusional, kurikuler, maupun instruksional semuanya diarahkan kepada pembentukan pribadi dan kemampuan warga masyarakat yang menjadi target atau sasaran pendidikan dimasyarakat bersangkutan. Ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan sekolah sebagai lembaga sosial yang terorganisasi secara formal.

Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan.

Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia yang telah mengantarkan pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” serta “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” menuntut penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan yang dapat menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia.

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan melalui BAB XIII, Pasal 31 ayat (2), bahwa pendidikan yang dimaksud harus diusahakan dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai “satu sistem pengajaran nasional”. Sesuai dengan judul bab yang bersangkutan, yaitu PENDIDIKAN, pengertian “satu sistem pengajaran nasional” dalam Undang-undang ini diperluas menjadi “satu sistem pendidikan nasional”. Perluasan pengertian ini memungkinkan Undang-undang ini tidak membatasi perhatian pada pengajaran saja, melainkan juga memperhatikan unsur-unsur pendidikan yang berhubungan dengan pertumbuhan kepribadian manusia Indonesia yang bersama-sama merupakan perwujudan bangsa Indonesia, suatu bangsa yang bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memelihara budi pekerti kemanusiaan dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : II/MPR/ 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila di bidang pendidikan, maka pendidikan nasional mengusahakan pertama, pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri, dan kedua, pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh yang mengandung makna terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka Pendidikan Pendahuluan Bela Negara diberikan kepada peserta didik sebagai bagian dari keseluruhan sistem pendidikan nasional.

Dengan landasan pemikiran tersebut, pendidikan nasional disusun sebagai usaha sadar untuk memungkinkan bangsa Indonesia mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengembangkan dirinya secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sistem pendidikan nasional adalah sekaligus alat dan tujuan yang amat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional.

Sistem pendidikan nasional harus dapat memberi pendidikan dasar bagi setiap warga negara Republik Indonesia, agar masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar, yang meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta menggunakan bahasa Indonesia, yang diperlukan oleh setiap warga negara untuk dapat berperanserta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Setiap warga negara diharapkan mengetahui hak dan kewajiban pokoknya sebagai warga negara serta memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri, ikut serta dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, dan memperkuat persatuan dan kesatuan serta upaya pembelaan negara. Pengetahuan dan kemampuan ini harus dapat diperoleh dari sistem pendidikan nasional. Hal ini dimaksudkan untuk memberi makna pada amanat Undang-Undang Dasar 1945, BAB XIII, Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.

Warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan pada tahap manapun dalam perjalanan hidupnya –pendidikan seumur hidup–, meskipun sebagai anggota masyarakat ia tidak diharapkan untuk terus-menerus belajar tanpa mengabdikan kemampuan yang diperolehnya untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan dapat diperoleh, baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.

Sistem pendidikan nasional memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara, oleh karena itu dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik tidak dibenarkan adanya perbedaan atas dasar jenis kelamin, agama, ras, suku, latar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali apabila ada satuan atau kegiatan pendidikan yang memiliki kekhususan yang harus diindahkan.

Pendidikan keluarga termasuk jalur pendidikan luar sekolah merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.

Dalam rangka peningkatan peranserta keluarga, masyarakat dan Pemerintah dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional, maka semua pihak perlu berusaha untuk menciptakan suasana lingkungan yang mendukung terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Dalam hubungan ini, maka pengadaan dan pendayagunaan sumberdaya pendidikan, baik yang disediakan oleh Pemerintah maupun masyarakat perlu dipertahankan fungsi sosialnya, dan tidak mengarah pada usaha mencari keuntungan material.

Upaya peningkatan taraf dan mutu kehidupan bangsa dan pengembangan kebudayaan nasional, yang diharapkan menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia, diadakan terus-menerus, sehingga dengan sendirinya senantiasa menuntut penyesuaian pendidikan pada kenyataan yang selalu berubah. Pendidikan juga harus senantiasa disesuaikan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengaturan dalam Undang-undang ini pada dasarnya dirumuskan secara umum, agar supaya pengaturan yang lebih khusus, yang harus disesuaikan dengan keadaan yang telah mengalami perubahan sebagaimana dimaksud di atas, dan bahkan harus memperhitungkan kemungkinan tuntutan perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia di masa yang akan datang, dilakukan melalui pengaturan yang lebih mudah dibuat, diubah dan dicabut. Dalam hubungan inilah dibentuk Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang bertugas untuk memberi pertimbangan kepada Menteri mengenai segala hal yang dipandang perlu dalam rangka perubahan, perbaikan, dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan pendidikan nasional perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pembangunan pendidikan nasional.

Undang-undang yang lama, yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550);Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550); Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361); Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80); Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) perlu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta diganti dengan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional ini.

Fungsi pendidikan di sekolah, sedikit banyak dipengaruhi pula oleh corak pengalaman seseorang dilingkungan masyarakat. Kondusif tidaknya dan positif tidaknya pengalaman seseorang dilingkungan masyarakat, tidak dapat dielakkan pengaruhnya terhadap keberhasilan fungsi pendidikan disekolah. Sekolah juga berkepentingan dengan perubahan lingkungan masyarakat seseorang, antara lain melalui fungsi layanan konseling, penciptaan forum komunikasi antara organisasi sekolah dengan organisasi lembaga-lembaga lainnya dimasyarakat. Fungsinya membelajarkan anak seoptimal mungkin yang tak terbatas.

Fungsi pendidikan di sekolah, sedikit banyak dipengaruhi oleh fungsional tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar perpustakaan umum, museum, kebun binatang, peredaran koran atau majalah serta sumber-sumber lainnya. Disamping sebagai medium pendidikan bagi masyarakat luas, sumber-sumber tersebut juga berfungsi untuk mendayagunakan bagi fungsi pendidikan sistem persekolah.

Dilihat dari sudut kedua bahwa hubungan sekolah dan masyarakat memiliki hubungan rasional berdasarkan kebutuhan. Sehubungan sudut pandang tersebut, berikut ini diberikan 3 (tiga) gambaran hubungan rasional diantara keduanya, yaitu:

Sekolah sebagai lembaga layanan terhadap kebutuhan pendidikan masyarakat, dan membawa konsekuensi-konsekuensi, konseptual dan teknis, sehingga bersesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk menjalankan tujuan pendidikan secara rasional dengan persyaratan-persyaratan kemampuan dan kepribadian yang secara ideal maupun praktis diciptakan dan dibutuhkan oleh masyarakat, maka diperlukan mekanisme informasi timbal balik yang rasional, objektif, dan realistis antara sekolah sebagai produsen pendidikan dengan masyarakat yang mengkonsumer luaran (output) persekolahan.

Sasaran pendidikan yang ditangani oleh lembaga persekolahan ditentukan kejelasan formulasi kontrak antara sekolah dengan masyarakat. Rumusan tersebut tentang kebutuhan dan cita-cita pendidikan yang diinginkan masyarakat, yang memerlukan operasionalisasi dan spesifikasi, sehingga memungkinkan pengukuran terpenuhi tidaknya fungsi layanan sekolah sebagaimana masyarakat inginkan. Maka diperlukan pendekatan komprehensif didalam pengembangan program dan kurikulum untuk masing-masing jenis dan jenjang persekolahan.

latar belakang

Latar Belakang

Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahwasannya kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain. Sedang kewenangan bidang pemerintahan yang dilaksanakan daerah meliputi; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Lebih lanjut, dalam PP. No. 25 Tahun 2000 disebutkan, bahwa kewenangan daerah juga meliputi penetapan kurikulum muatan lokal pada TK, SD, dan SLTP; dan untuk merencanakan, menetapkan dan mengelola pendidikan di antaranya adalah memfasilitasi peran serta masyarakat di bidang pendidikan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan karir tenaga kependidikan, membina pengelolaan sekolah, dan melaksanakan inovasi pendidikan.

Bila menatap kebijakan yang ada di kabupaten Gresik, seharusnya bidang pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Daerah Gresik, dan sudah termaktub dalam renstra Kabupaten Gresik. Hal itupun, tentunya sejalan dengan arah kebijakan umum (prioritas pembangunan) kabupaten Gresik. Dengan begitu, misi pembangunan Gresik dapat dijalankan oleh dinas-dinas di unitnya masing-masing. Sehingga nanti misi kabupaten Gresik menjadi visi dari dinas-dinas.

Berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, bahwasannya pendidikan diwenangkan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Termaktub dalam visi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik, yaitu mencita-citakan terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, dan sejahtera. Sementara, misi yang diharapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik adalah terwujudnya masyarakat yang agamis dan modern. Sayangnya, prinsip demokrasi, partisipasi, pemerataan, keadilan, yang memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dan merupakan hakekat otonomi daerah belum tampak.

Salah satu potensi daerah Kabupaten Gresik adalah madrasah. Dengan berbagai keanekaragamannya, madrasah sarat dengan permasalahan. Permasalahan itu timbul tatkala semua kebijakan (pemberian THR, mekanisme distibusi dan subsidi dana, sengketa guru dengan Yayasan, dll) dianggap tak dilandasi kepastian hukum dan tidak sesuai aturan.

Sejak pemberlakuan otonomi pendidikan di kabupaten Gresik pada tahun 2001, stereotif pada komunitas madrasah masih layak untuk ditindaklanjuti. Bila terkait dengan kebijakan yang ada saat ini, yaitu pemberian subsidi dan THR kepada guru swasta, namun tidak didasari kepastian hukum. Sehingga, dapat saja kebijakan tersebut diubah bahkan ditiadakan. Maka, perhatian Pemerintah Kabupaten Gresik terhadap permasalahan di atas perlu diupayakan.

Kondisi di atas, seharusnya ada indikator dan menjadi target dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik agar terjadi sinergi yang dinamis dan sehat antara lembaga negeri dan swasta. Untuk menunjang sinergi sebagaimana visi di atas, maka madrasah sebagai lembaga pendidikan agamis perlu persiapan dengan segera melakukan konsolidasi ke dalam. Bentuk konsilidasi ini dapat berupa pemberdayaan di tingkat internal pelaku dan komunitas madrasah agar kelak dapat menghadapai tantangan sebagaimana visi dan misi yang diamanatkan pemerintah daerah. Lebih lanjut, dituangkan dalam visi Subdin Pergurais, yaitu terciptanya lembaga pendidikan agama Islam yang berkualitas, minimal sejajar dengan lembaga pendidikan umum. Disebutkan pula dalam misi Pergurais kelak diharapkan meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar (poin 4)

Rupanya, langkah-langkah Pemkab dalam memberi kebijakan, dirasa masih belum menyentuh esensi kebutuhan dan kepentingan subyek dan stakeholder pendidikan pada umumnya dan sangat signifikan apabila ada suatu kepastian hukum (regulasi) bagi guru madrasah maupun swasta yang ikut berpartisipasi dan berperan dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal demikian, sejalan dengan pasal 8 UU Sisdiknas, bahwasannya masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sehingga, produk payung hukum yang tercipta kelak menjadi inisiatif bagi pembuat kebijakan Gresik (eksekutif dan legislatif), dan penentu kebijakan selanjutnya, untuk tetap perlu mengimplikasikan produk-produk hukum atas inisiatif masyarakat (bottom up). Proses di atas dapat diawali dengan munculnya inisiatif guru-guru madrasah dan komitmen yang kuat penentu kebijakan (anggota dewan, Dinas, dll.) untuk menjadikan pendidikan Gresik lebih baik dan bermutu. Lebih lanjut, akan sangat mudah bila saat ini sudah ada nilai esensial yang berjalan (usulan Guru madrasah dan komitmen penentu kebijakan) dan dapat menggagas suatu konsep ideal kepastian hukum peraturan di daerah.

Parameter keberhasilan pendidikan di Gresik secara umum (sosiologis, ekonomis, antropologis) belum pernah diteliti dan dikaji secara komprehensif, sehingga proses peningkatan kualitas pendidikan pada masyarakat Gresik "sampai saat ini" belum dapat diukur secara pasti, dan perlu ada tindakan nyata dari semua unsur masyarakat. Apalagi, dengan adanya moment Pemilu dan Pilkada, masyarakat Gresik cenderung refresif dan sangat rentan terhadap terjadinya berbagai krisis. Krisis multidimensi tersebut mengarah pada menurunnya kesalingpercayaan, baik secara horisontal maupun vertikal, baik dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten sehingga mengancam persatuan di daerah. Oleh karena itu, sektor pendidikan daerah, khususnya madrasah adalah bagian dari tantangan yang sangat berat untuk ikut mengatasi situasi krisis yang ada di kabupaten Gresik.

Berarti, konsekuensi logis sektor pendidikan, pada dasarnya tidak steril dari berbagai pengaruh sistem kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum. Sistem kehidupan tersebut seharusnya secara sinergis memberikan dukungan bagi setiap upaya pembangunan daerah. Akan tetapi, pada kenyataannya sistem yang ada belum dapat memberikan dukungan sepenuhnya, sehingga sektor pendidikan belum mampu ikut menanggapi secara optimal krisis multidimensi yang dihadapi Kabupaten Gresik saat ini.

Adanya upaya pembaharuan, pengembangan, dan pemberdayaan sistem pendidikan di daerah harus disikapi agar sistem itu mampu membackup berbagai tantangan di daerah. Upaya tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara menciptakan sistem pendidikan di daerah yang memiliki daya adaptabilitas yang tinggi dan berciri khas lokal. Dengan cara demikian sistem pendidikan daerah dapat menjaga kemanfaatannya bagi upaya pencerdasan masyarakat Gresik dan mampu menanggapi secara proaktif berbagai tuntutan kehidupan nasional, dan global.

Dalam era desentraslisasi, tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan daerah Gresik meliputi persoalan-persoalan yang terkait dengan rendahnya kesejahteraan guru swasta, kurangnya sarana dan prasarana pendukung, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM); sehingga hal itu terkait dengan pemerataan (siswa-guru), mutu (siswa-guru-lembaga), relevansi (pengangguran-drop-out), dan efisiensi dan efektifitas. Meski dilandasi kesadaran dari pelaku madrasah di Gresik, namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah pada saat ini masih bersifat insidental dan instant, serta dipandang hanya sebagai bentuk belas kasihan dari pemerintah.

Menurut pasal 11 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Ditambahkan, dalam pasal 11 ayat (2), bahwasannya Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendididkan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Maka, keberhasilan sistem pendidikan daerah (madrasah) dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut akan sangat menentukan kemampuan generasi mendatang untuk membangun kehidupan masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, sejahtera, dan demokratis.

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan



Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***