Jangka Jayabaya
tulisan oleh:
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001
Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa
yang salah satunya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini
dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun
temurun oleh para pujangga. Asal -usul utama serat jangka Jayabaya dapat
dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak
keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan
bahwasanya Jayabaya-lah yg membuat ramalan-ramalan tersebut.
“Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri
yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.”
Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang
hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama
sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka: Kakawin Bharatayuddha, Kakawin
Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya
tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa
dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa
dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna,
titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina,
putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai
Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan
ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri
Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H =
1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah
Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi
penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta
(1613-1645 M).
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli,
adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran
Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang
Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang
artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu,
dekat Demak! Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau
dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat
masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai
pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang
Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu Beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan
Pujangga Keraton Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749).
Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad
Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah
Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya
di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada
tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang
Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai
Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705
M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa
Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian
diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah
di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun
1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud
Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di
Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri
yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu
(Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton
Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud
Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.[sunting] Analisa
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah
gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar”
Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga
menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat
negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala
hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah
kerajaan Silam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedatan”. Giri
Kedatan ini nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa
yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan
sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun, demikian adanya
keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai
jaman Sunan Giri ke-3.
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya
berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram;
Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun
tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden
Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih
lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah
sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah
kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke
tangan raja yang mendapat julukan sebagai “Ratu Bobodo”) ialah Sultan Pajang.
Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah
Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang
juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh
penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu
Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di
kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari
Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan
Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu
Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan,
bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih
kembali kewibawaannya, justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat.
Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai
raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada
tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang
menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 &
1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi
dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil
pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari
Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157
M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru,
raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang
pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan “JANGKA JAYABAYA”
dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar
serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk
babad.
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya
dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi
sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman
keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika
kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah
negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama “REPUBLIK INDONESIA”!. Kedua
sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang
hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut
pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh
diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan
sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini
ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan
Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh
bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat
hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang
dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan
tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni
Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar
tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian,
Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada
tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni
Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
(Kitab Musasar Jayabaya)
Asmarandana
1. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di
Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
2. Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu
Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
3. Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki
yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja
negara-nya.
4. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu
tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum
bernama, Sultan Maolana.
5. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya
disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa
pantas dihormati.
6. Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang
Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu menge.nai Kitab Musarar.
7. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian
kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan
sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
8. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita.
Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis
3 kali.
9. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang
ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
10. Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak
kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa
membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
11. Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk.
Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
12. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung
Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
13. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput
Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu.
14. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum
kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
15. Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya
bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang.
Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
16. Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar
memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh
warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
17. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang
melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan
kembang mojar satu bungkus.
18. Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar
menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu
waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
19. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya.
Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut.
Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
20. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun
pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
21. Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya
bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala
masih muda.
Sinom
1. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru
mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah
raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
2. Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman
lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin
berobah lagi. Diberi lambang Jaman Catur semune segara asat.
3. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan.
Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi.
Menghancurkan keburukan.
4. Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut.
Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan
saudara-saudara ditempat yang rahasia.
5. Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian
harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada jaman Anderpati yang bernama
Kala-wisesa.
6. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman
pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara,
Setelah seratus tahun kemudian musnah.
7. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi
pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian
berganti jaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
8. Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata.
Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara
berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
9. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu
Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi
dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati
Kalawisaya.
10. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang
bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa
uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
11. Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung
kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota
Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun
kemudian musnah.
12. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange.
Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi
hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti
Prabu Anyakrakusuma.
13. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan
kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali
serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
14. Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena
pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar.
Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
15. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang
sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi
lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu.
Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
16. Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat
sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga
terpandang di pulau Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih keturunan
Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
17. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah
Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti.
Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian
berganti.
18. Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja yang
penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita)
kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti,
namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya
dan hukum tidak karu-karuan.
19. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan
uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah
tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang
tidak dapat ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati
berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara
Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang
Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
21. Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya
keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara.
Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang
Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu
diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
22. Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak
sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang
kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya
Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang
tersebut.
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik.
Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi
Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna.
Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang
jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan
Tuhan dan orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi
hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada
tanda negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu.
Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian
raja Kara Murka Kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune
Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi
Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu
Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
28. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah
dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu
dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu,
sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar
sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan
raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
Isi Ramalan
1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran — Kelak jika
sudah ada kereta tanpa kuda.
2. Tanah Jawa kalungan wesi — Pulau Jawa berkalung
besi.
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang — Perahu
berjalan di angkasa.
4. Kali ilang kedhunge — Sungai kehilangan mata air.
5. Pasar ilang kumandhang — Pasar kehilangan suara.
6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak —
Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
7. Bumi saya suwe saya mengkeret — Bumi semakin lama
semakin mengerut.
8. Sekilan bumi dipajeki — Sejengkal tanah dikenai
pajak.
9. Jaran doyan mangan sambel — Kuda suka makan sambal.
10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang — Orang
perempuan berpakaian lelaki.
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking
zaman— Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
12. Akeh janji ora ditetepi — Banyak janji tidak
ditepati.
13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe— Banyak
orang berani melanggar sumpah sendiri.
14. Manungsa padha seneng nyalah— Orang-orang saling
lempar kesalahan.
15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi— Tak peduli akan
hukum Hyang Widhi.
16. Barang jahat diangkat-angkat— Yang jahat
dijunjung-junjung.
17. Barang suci dibenci— Yang suci (justru) dibenci.
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit— Banyak orang
hanya mementingkan uang.
19. Lali kamanungsan— Lupa jati kemanusiaan.
20. Lali kabecikan— Lupa hikmah kebaikan.
21. Lali sanak lali kadang— Lupa sanak lupa saudara.
22. Akeh bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
23. Akeh anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani
melawan ibu.
24. Nantang bapa— Menantang ayah.
25. Sedulur padha cidra— Saudara dan saudara saling
khianat.
26. Kulawarga padha curiga— Keluarga saling curiga.
27. Kanca dadi mungsuh — Kawan menjadi lawan.
28. Akeh manungsa lali asale — Banyak orang lupa
asal-usul.
29. Ukuman Ratu ora adil — Hukuman Raja tidak adil
30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil— Banyak pejabat
jahat dan ganjil
31. Akeh kelakuan sing ganjil — Banyak ulah-tabiat
ganjil
32. Wong apik-apik padha kapencil — Orang yang baik
justru tersisih.
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin —
Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
34. Luwih utama ngapusi — Lebih mengutamakan menipu.
35. Wegah nyambut gawe — Malas untuk bekerja.
36. Kepingin urip mewah — Inginnya hidup mewah.
37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka —
Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
38. Wong bener thenger-thenger — Orang (yang) benar
termangu-mangu.
39. Wong salah bungah — Orang (yang) salah gembira
ria.
40. Wong apik ditampik-tampik— Orang (yang) baik
ditolak ditampik (diping-pong).
41. Wong jahat munggah pangkat— Orang (yang) jahat
naik pangkat.
42. Wong agung kasinggung— Orang (yang) mulia
dilecehkan
43. Wong ala kapuja— Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44. Wong wadon ilang kawirangane— perempuan hilang
malu.
45. Wong lanang ilang kaprawirane— Laki-laki hilang
perwira/kejantanan
46. Akeh wong lanang ora duwe bojo— Banyak laki-laki
tak mau beristri.
47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone— Banyak
perempuan ingkar pada suami.
48. Akeh ibu padha ngedol anake— Banyak ibu menjual
anak.
49. Akeh wong wadon ngedol awake— Banyak perempuan
menjual diri.
50. Akeh wong ijol bebojo— Banyak orang tukar
istri/suami.
51. Wong wadon nunggang jaran— Perempuan menunggang
kuda.
52. Wong lanang linggih plangki— Laki-laki naik tandu.
53. Randha seuang loro— Dua janda harga seuang (Red.:
seuang = 8,5 sen).
54. Prawan seaga lima— Lima perawan lima picis.
55. Dhudha pincang laku sembilan uang— Duda pincang
laku sembilan uang.
56. Akeh wong ngedol ngelmu— Banyak orang berdagang
ilmu.
57. Akeh wong ngaku-aku— Banyak orang mengaku diri.
58. Njabane putih njerone dhadhu— Di luar putih di
dalam jingga.
59. Ngakune suci, nanging sucine palsu— Mengaku suci,
tapi palsu belaka.
60. Akeh bujuk akeh lojo— Banyak tipu banyak muslihat.
61. Akeh udan salah mangsa— Banyak hujan salah musim.
62. Akeh prawan tuwa— Banyak perawan tua.
63. Akeh randha nglairake anak— Banyak janda
melahirkan bayi.
64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne— Banyak
anak lahir mencari bapaknya.
65. Agama akeh sing nantang— Agama banyak ditentang.
66. Prikamanungsan saya ilang— Perikemanusiaan semakin
hilang.
67. Omah suci dibenci— Rumah suci dijauhi.
68. Omah ala saya dipuja— Rumah maksiat makin dipuja.
69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi— Perempuan lacur
dimana-mana.
70. Akeh laknat— Banyak kutukan
71. Akeh pengkianat— Banyak pengkhianat.
72. Anak mangan bapak—Anak makan bapak.
73. Sedulur mangan sedulur—Saudara makan saudara.
74. Kanca dadi mungsuh—Kawan menjadi lawan.
75. Guru disatru—Guru dimusuhi.
76. Tangga padha curiga—Tetangga saling curiga.
77. Kana-kene saya angkara murka — Angkara murka
semakin menjadi-jadi.
78. Sing weruh kebubuhan—Barangsiapa tahu terkena
beban.
79. Sing ora weruh ketutuh—Sedang yang tak tahu
disalahkan.
80. Besuk yen ana peperangan—Kelak jika terjadi
perang.
81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor—Datang dari
timur, barat, selatan, dan utara.
82. Akeh wong becik saya sengsara— Banyak orang baik
makin sengsara.
83. Wong jahat saya seneng— Sedang yang jahat makin
bahagia.
84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul— Ketika
itu burung gagak dibilang bangau.
85. Wong salah dianggep bener—Orang salah dipandang
benar.
86. Pengkhianat nikmat—Pengkhianat nikmat.
87. Durjana saya sempurna— Durjana semakin sempurna.
88. Wong jahat munggah pangkat— Orang jahat naik
pangkat.
89. Wong lugu kebelenggu— Orang yang lugu dibelenggu.
90. Wong mulya dikunjara— Orang yang mulia dipenjara.
91. Sing curang garang— Yang curang berkuasa.
92. Sing jujur kojur— Yang jujur sengsara.
93. Pedagang akeh sing keplarang— Pedagang banyak yang
tenggelam.
94. Wong main akeh sing ndadi—Penjudi banyak
merajalela.
95. Akeh barang haram—Banyak barang haram.
96. Akeh anak haram—Banyak anak haram.
97. Wong wadon nglamar wong lanang—Perempuan melamar
laki-laki.
98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe—Laki-laki
memperhina derajat sendiri.
99. Akeh barang-barang mlebu luang—Banyak barang
terbuang-buang.
100. Akeh wong kaliren lan wuda—Banyak orang lapar dan
telanjang.
101. Wong tuku ngglenik sing dodol—Pembeli membujuk
penjual.
102. Sing dodol akal okol—Si penjual bermain siasat.
103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri—Mencari
rizki ibarat gabah ditampi.
104. Sing kebat kliwat—Yang tangkas lepas.
105. Sing telah sambat—Yang terlanjur menggerutu.
106. Sing gedhe kesasar—Yang besar tersasar.
107. Sing cilik kepleset—Yang kecil terpeleset.
108. Sing anggak ketunggak—Yang congkak terbentur.
109. Sing wedi mati—Yang takut mati.
110. Sing nekat mbrekat—Yang nekat mendapat berkat.
111. Sing jerih ketindhih—Yang hati kecil tertindih
112. Sing ngawur makmur—Yang ngawur makmur
113. Sing ngati-ati ngrintih—Yang berhati-hati
merintih.
114. Sing ngedan keduman—Yang main gila menerima bagian.
115. Sing waras nggagas—Yang sehat pikiran berpikir.
116. Wong tani ditaleni—Orang (yang) bertani diikat.
117. Wong dora ura-ura—Orang (yang) bohong berdendang.
118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane—Raja
ingkar janji, hilang wibawanya.
119. Bupati dadi rakyat—Pegawai tinggi menjadi rakyat.
120. Wong cilik dadi priyayi—Rakyat kecil jadi
priyayi.
121. Sing mendele dadi gedhe—Yang curang jadi besar.
122. Sing jujur kojur—Yang jujur celaka.
123. Akeh omah ing ndhuwur jaran—Banyak rumah di
punggung kuda.
124. Wong mangan wong—Orang makan sesamanya.
125. Anak lali bapak—Anak lupa bapa.
126. Wong tuwa lali tuwane—Orang tua lupa ketuaan
mereka.
127. Pedagang adol barang saya laris—Jualan pedagang
semakin laris.
128. Bandhane saya ludhes—Namun harta mereka makin
habis.
129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan—Banyak
orang mati lapar di samping makanan.
130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara—Banyak
orang berharta tapi hidup sengsara.
131. Sing edan bisa dandan—Yang gila bisa bersolek.
132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong—Si bengkok
membangun mahligai.
133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil—Yang
waras dan adil hidup merana dan tersisih.
134. Ana peperangan ing njero—Terjadi perang di dalam.
135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah
paham—Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
136. Durjana saya ngambra-ambra—Kejahatan makin
merajalela.
137. Penjahat saya tambah—Penjahat makin banyak.
138. Wong apik saya sengsara—Yang baik makin sengsara.
139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan—Banyak
orang mati karena perang.
140. Kebingungan lan kobongan—Karena bingung dan
kebakaran.
141. Wong bener saya thenger-thenger—Si benar makin
tertegun.
142. Wong salah saya bungah-bungah—Si salah makin
sorak sorai.
143. Akeh bandha musna ora karuan lungane—Banyak harta
hilang entah ke mana
144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan
sababe—Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram—Banyak
barang haram, banyak anak haram.
146. Bejane sing lali, bejane sing eling—Beruntunglah
si lupa, beruntunglah si sadar.
147. Nanging sauntung-untunge sing lali—Tapi betapapun
beruntung si lupa.
148. Isih untung sing waspada—Masih lebih beruntung si
waspada.
149. Angkara murka saya ndadi—Angkara murka semakin
menjadi.
150. Kana-kene saya bingung—Di sana-sini makin
bingung.
151. Pedagang akeh alangane—Pedagang banyak rintangan.
152. Akeh buruh nantang juragan—Banyak buruh melawan
majikan.
153. Juragan dadi umpan—Majikan menjadi umpan.
154. Sing suwarane seru oleh pengaruh—Yang bersuara
tinggi mendapat pengaruh.
155. Wong pinter diingar-ingar—Si pandai direcoki.
156. Wong ala diuja—Si jahat dimanjakan.
157. Wong ngerti mangan ati—Orang yang mengerti makan
hati.
158. Bandha dadi memala—Hartabenda menjadi penyakit
159. Pangkat dadi pemikat—Pangkat menjadi pemukau.
160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang — Yang
sewenang-wenang merasa menang
161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah—Yang mengalah
merasa serba salah.
162. Ana Bupati saka wong sing asor imane—Ada raja
berasal orang beriman rendah.
163. Patihe kepala judhi—Maha menterinya benggol judi.
164. Wong sing atine suci dibenci—Yang berhati suci
dibenci.
165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat—Yang
jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
166. Pemerasan saya ndadra—Pemerasan merajalela.
167. Maling lungguh wetenge mblenduk — Pencuri duduk
berperut gendut.
168. Pitik angrem saduwure pikulan—Ayam mengeram di
atas pikulan.
169. Maling wani nantang sing duwe omah—Pencuri
menantang si empunya rumah.
170. Begal pada ndhugal—Penyamun semakin kurang ajar.
171. Rampok padha keplok-keplok—Perampok semua
bersorak-sorai.
172. Wong momong mitenah sing diemong—Si pengasuh
memfitnah yang diasuh
173. Wong jaga nyolong sing dijaga—Si penjaga mencuri
yang dijaga.
174. Wong njamin njaluk dijamin—Si penjamin minta
dijamin.
175. Akeh wong mendem donga—Banyak orang mabuk doa.
176. Kana-kene rebutan unggul—Di mana-mana berebut
menang.
177. Angkara murka ngombro-ombro—Angkara murka
menjadi-jadi.
178. Agama ditantang—Agama ditantang.
179. Akeh wong angkara murka—Banyak orang angkara
murka.
180. Nggedhekake duraka—Membesar-besarkan durhaka.
181. Ukum agama dilanggar—Hukum agama dilanggar.
182. Prikamanungsan di-iles-iles—Perikemanusiaan
diinjak-injak.
183. Kasusilan ditinggal—Tata susila diabaikan.
184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi—Banyak
orang gila, jahat dan hilang akal budi.
185. Wong cilik akeh sing kepencil—Rakyat kecil banyak
tersingkir.
186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil—Karena
menjadi kurban si jahat si laknat.
187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit—Lalu
datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
188. Lan duwe prajurit—Dan punya prajurit.
189. Negarane ambane saprawolon—Lebar negeri
seperdelapan dunia.
190. Tukang mangan suap saya ndadra—Pemakan suap
semakin merajalela.
191. Wong jahat ditampa—Orang jahat diterima.
192. Wong suci dibenci—Orang suci dibenci.
193. Timah dianggep perak—Timah dianggap perak.
194. Emas diarani tembaga—Emas dibilang tembaga
195. Dandang dikandakake kuntul—Gagak disebut bangau.
196. Wong dosa sentosa—Orang berdosa sentosa.
197. Wong cilik disalahake—Rakyat jelata
dipersalahkan.
198. Wong nganggur kesungkur—Si penganggur tersungkur.
199. Wong sregep krungkep—Si tekun terjerembab.
200. Wong nyengit kesengit—Orang busuk hati dibenci.
201. Buruh mangluh—Buruh menangis.
202. Wong sugih krasa wedi—Orang kaya ketakutan.
203. Wong wedi dadi priyayi—Orang takut jadi priyayi.
204. Senenge wong jahat—Berbahagialah si jahat.
205. Susahe wong cilik—Bersusahlah rakyat kecil.
206. Akeh wong dakwa dinakwa—Banyak orang saling
tuduh.
207. Tindake manungsa saya kuciwa—Ulah manusia semakin
tercela.
208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing
dipilih lan disenengi—Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
209. Wong Jawa kari separo—Orang Jawa tinggal
setengah.
210. Landa-Cina kari sejodho — Belanda-Cina tinggal
sepasang.
211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil—Banyak orang
kikir, banyak orang bakhil.
212. Sing eman ora keduman—Si hemat tidak mendapat
bagian.
213. Sing keduman ora eman—Yang mendapat bagian tidak
berhemat.
214. Akeh wong mbambung—Banyak orang berulah dungu.
215. Akeh wong limbung—Banyak orang limbung.
216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka—Lambat-laun
datanglah kelak terbaliknya zaman.